Magang: Transfer Pengetahuan atau Pekerjaan Rutin? Oleh Joniarto Parung ti November 10, 2025

Magang: Transfer Pengetahuan atau Pekerjaan Rutin? Oleh Joniarto Parung

Pemerintah baru saja mengumumkan program magang berbayar bagi lulusan baru dengan gaji setara upah minimum provinsi atau UMP. Kebijakan ini pernah diulas dalam artikel Kompas berjudul ”Magang Dibayar UMP, Solusi untuk ’Fresh Graduate’ yang Perlu Dijalankan Hati-hati” (18 September 2025).

Dalam tulisan itu, Kompas menekankan bahwa program ini memang menjanjikan solusi bagi lulusan baru, tetapi perlu dijalankan dengan hati-hati agar tidak terjebak sekadar formalitas. Tujuan program ini bagus, janjinya manis, tetapi eksekusinya harus hati-hati. Jangan sampai harapan tinggi ini berujung pada kekecewaan karena magang hanya menjadi formalitas, yang tidak menyentuh kebutuhan utama para lulusan baru.

Lalu, pertanyaan mendasarnya adalah, sebenarnya, apa sih arti magang yang sesungguhnya? Apakah ia sekadar batu loncatan untuk masuk ke dunia kerja? Atau lebih dari itu? Yang tak kalah penting, dan ini pertanyaan yang cukup menggelitik, sudah siapkah perusahaan-perusahaan di Indonesia? Lalu, di mana peran perguruan tinggi?
Magang bukan sekadar kerja sementara

Stereotipe tentang anak magang di Indonesia masih sering diwarnai gambaran tentang mengantarkan dokumen, membuat kopi, atau duduk berjam-jam meng-input data yang tidak jelas ujung pangkalnya.

Banyak mahasiswa atau lulusan baru yang menjalani magang hanya diberi pekerjaan rutin dan administratif. Mulai dari mengarsipkan dokumen yang mungkin tidak akan pernah dibaca lagi, membuat laporan sederhana yang bersifat repetitif, hingga membantu pekerjaan yang sama sekali tidak relevan dengan bidang studi mereka selama empat tahun di bangku kuliah.

Bayangkan seorang sarjana teknik yang passion-nya adalah merancang bangunan justru menghabiskan waktunya untuk mengatur jadwal meeting. Atau, lulusan ilmu komunikasi yang bercita-cita menjadi content creator malah terjebak sebagai admin media sosial yang hanya melakukan scheduling post tanpa pernah dilibatkan dalam proses kreatifnya.

Padahal, hakikat magang jauh lebih dari itu. Magang adalah proses pembelajaran terstruktur yang menjembatani dunia pendidikan dan dunia kerja. Ia berfungsi sebagai sarana transfer pengetahuan, keterampilan, dan budaya organisasi. Peserta magang tidak hanya belajar apa yang harus dikerjakan, tetapi juga bagaimana mengerjakannya secara efektif, efisien, dan penuh improvisasi.
Perusahaan harus Memberi

Agar program magang berbayar ini tidak sekadar menjadi program pemerintah yang dipenuhi dengan checklist administratif, perusahaan tidak bisa hanya berperan sebagai ”penerima” peserta. Mereka harus aktif menyiapkan ”rumah” yang nyaman untuk belajar. Mereka harus menyiapkan ekosistem yang memadai, yang antara lain mencakup pekerjaan yang bermakna. Tugas harus relevan dengan latar belakang akademik peserta, bukan sekadar pekerjaan sisa yang tidak ingin dikerjakan karyawan tetap.

Selain itu, pembimbing yang kompeten. Keberadaan mentor adalah kunci sukses program magang. Mentor harus hadir, memberi arahan, dan menjadi teladan, bukan hanya pengawas pasif.
Perusahaan juga harus menyiapkan prosedur standar magang. Dibutuhkan prosedur operasi standar (SOP) yang jelas: mulai dari orientasi, target pembelajaran, hingga evaluasi akhir. Tak kalah penting adalah lingkungan belajar kondusif. Peserta magang harus diberi ruang untuk bertanya, mencoba, bahkan salah, lalu diperbaiki.

Magang harus dilihat sebagai investasi SDM jangka panjang. Dengan demikian, perusahaan tidak hanya membantu pemerintah menjalankan program, tetapi juga menanamkan budaya pembelajaran yang memperkuat daya saing.
Transfer ”knowledge”: eksplisit dan ”tacit”

Dalam literatur manajemen pengetahuan dikenal dua bentuk pengetahuan. Pertama adalah eksplisit knowledge dalam bentuk pengetahuan yang terdokumentasi, seperti SOP, manual kerja, atau sistem informasi. Kedua adalah tacit knowledge dalam bentuk pengalaman, intuisi, dan keterampilan praktis yang hanya bisa ditransfer lewat interaksi langsung.

Magang yang bermakna harus menggabungkan keduanya. Eksplisit knowledge memang penting, tetapi tacit knowledge jauh lebih menentukan keberhasilan kerja di lapangan. Justru tacit knowledge inilah yang paling sulit diperoleh, tetapi paling dibutuhkan peserta magang: bagaimana membaca situasi kerja, bagaimana menyelesaikan masalah di luar prosedur, bagaimana berimprovisasi ketika terjadi kendala.

Pertanyaan kritisnya: apakah perusahaan di Indonesia siap untuk model magang seperti ini? Fakta di lapangan menunjukkan banyak magang mahasiswa masih sebatas formalitas: tidak ada tujuan pembelajaran yang jelas, sering tanpa pembimbing khusus, bahkan ada yang hanya dijadikan tenaga tambahan.

Di sisi lain, perusahaan kerap merasa khawatir tacit knowledge atau rahasia bisnis mereka akan terbawa keluar peserta magang, lalu dimanfaatkan di perusahaan lain. Kekhawatiran ini wajar, tetapi jika dibiarkan, magang hanya akan kembali jatuh pada pola lama: peserta mengerjakan pekerjaan standar tanpa nilai tambah.
Di sinilah diperlukan keseimbangan. Perusahaan bisa tetap berbagi tacit knowledge sambil melindungi informasi strategis. Misalnya, dengan perjanjian kerahasiaan untuk aspek sensitif atau membatasi akses data tertentu.

Yang terpenting, peserta magang tetap memperoleh pengalaman otentik tentang bagaimana pekerjaan nyata dijalankan. Dengan cara ini, perusahaan aman, peserta berkembang, dan tujuan magang sebagai jembatan pendidikan dan dunia kerja tercapai.
Ilustrasi arah pendidikan perguruan tinggi.

Pertanyaan lain yang muncul dari program magang berbayar adalah di mana peran perguruan tinggi. Pada magang mahasiswa, peran perguruan tinggi cukup jelas, yaitu mencakup aspek persiapan dan refleksi. Sebelum magang, kampus mempersiapkan mahasiswa dengan soft skills, seperti komunikasi profesional, etika kerja, dan manajemen waktu.

Selama magang, dosen pembimbing atau koordinator magang harus melakukan monitoring untuk memastikan pengalaman tersebut sesuai dengan tujuan pembelajaran. Seusai magang, perguruan tinggi wajib menyediakan ruang bagi mahasiswa untuk merefleksikan pengalaman mereka sehingga ilmu praktis dari dunia kerja dapat diintegrasikan dengan teori akademis.

Namun, karena peserta program ini adalah lulusan perguruan tinggi, tentu peran tersebut harus bergeser. Perguruan tinggi akan berperan sebagai mitra strategis pemerintah dan industri dalam mengurangi skill gap. Kampus dapat berperan dengan mengidentifikasi alumni yang sesuai dengan profil program, memberikan rekomendasi berdasarkan pemahaman terhadap kompetensi dan karakter lulusan, serta menjadi fasilitator untuk ”memperhalus” transisi lulusan dari kampus ke dunia kerja.

Perguruan tinggi dapat membantu pemerintah menilai kelayakan perusahaan yang menjadi tempat magang, memastikan bahwa program yang ditawarkan benar-benar bersifat pengembangan keterampilan (upskilling/reskilling) dan bukan sekadar mencari tenaga kerja murah dengan status fresh graduate.

Yang lebih krusial, peran perguruan tinggi adalah dalam evaluasi dan pengembangan kurikulum. Pengalaman fresh graduate selama magang merupakan umpan balik yang sangat berharga bagi almamater mereka. Perguruan tinggi harus secara aktif mengumpulkan data mengenai keterampilan apa saja yang ternyata sangat dibutuhkan di industri, tetapi kurang dalam kurikulum saat ini.

Dengan menganalisis kesenjangan ini, kampus dapat menyesuaikan dan memperbarui materi perkuliahan, penekanan pada keterampilan praktis, dan metode pembelajaran agar lebih relevan. Dengan cara ini, program magang fresh graduate tidak hanya menjadi solusi jangka pendek untuk memberi pengalaman kerja dan mengatasi pengangguran, tetapi juga menjadi masukan vital untuk meningkatkan kualitas pendidikan tinggi itu sendiri agar lulusan di masa depan lebih siap kerja.

Program magang berbayar yang digagas pemerintah merupakan langkah maju. Namun, pelaksanaannya perlu disiapkan dengan matang. Magang bukan hanya pekerjaan rutin, melainkan transfer knowledge, baik eksplisit maupun tacit yang membentuk kreativitas, inovasi, dan ketangguhan lulusan baru.

Perusahaan harus menyiapkan pekerjaan yang bermakna, pembimbing yang kompeten, dan prosedur yang jelas. Dengan demikian, magang benar-benar menjadi investasi berharga, bukan hanya bagi individu peserta, melainkan juga bagi perusahaan dan bangsa.

Sumber: https://www.kompas.id/artikel/magang-transfer-pengetahuan-atau-pekerjaan-rutin

#FunLearningBrightCareer