SURABAYA – Pandemi Covid-19 membuat sektor manufaktur lumpuh. Selain itu, kebiasaan baru akan melekat pada kehidupan sehari-hari manusia di tahun-tahun mendatang. Itu sebabnya, dibutuhkan strategi khusus untuk menghadapi tantangan tersebut.
Guru besar bidang supply chain teknik industri Universitas Surabaya (Ubaya) Prof Joniarto Parung MMBAT PhD mengatakan, pandemi telah menyebabkan supply shocs dan demand shocks pada bidang manufaktur. Selain itu membawa perubahan dan percepatan sejumlah tren konsumen. Mulai pembelajaran online, bekerja dari rumah, layanan streaming, komunikasi video, menjual barang-barang konsumen secara online, hingga pengiriman layanan atau jasa ke rumah. “Di masa depan nanti kita akan terbiasa menghadapi gangguan terus-menerus,” kata mantan rektor Ubaya tersebut.
Pria yang karib disapa Joni itu pun menjelaskan, ada empat hal past reality di sektor manufaktur yang terjadi sebelum pandemi, yakni strategy, transformation, investment, dan industry revolution 4.0. Jika membahas strategi pada sektor manufaktur, reshoring serta masalah pabrik telah direncanakan dan dibahas sejak lama.
Sementara transformation itu mengacu pada transformasi digital yang telah ada di dalam pabrik dan seluruh ekosistem manufaktur. Selanjutnya, perusahaan memandang investment dalam fasilitas, teknologi, dan departemen research and development (R&D) sebagai sarana utama dalam meningkatkan kemampuan manufaktur.
Sedangkan revolusi industri 4.0, internet of things (IoT) , dan smart factory mulai berjalan. Namun, adopsi terkait transformasi digital cenderung belum merata dan lambat dalam pembuatannya. “Kita juga harus melihat strategi manufaktur sebelum, saat, dan setelah pandemi. Terdapat strategi yang dapat dilakukan untuk memulihkan kondisi manufaktur melalui short, medium, dan long term strategies,” terangnya.
Joni menjelaskan, pada short-term, manufaktur dapat mendukung perusahaan untuk bertahan hidup dengan atau tanpa dukungan atau perlindungan pemerintah. Cara pertama dengan mengganti jalur produksi dengan memproduksi critical product atau high demand.
Strategi kedua, produsen mencari cara untuk memastikan kontinuitas produksi dengan cepat dan memperkenalkan fleksibilitas. Ketiga, manufaktur tetap mengharuskan orang berada di lokasi dengan jumlah terbatas seperti operator dan staf pemeliharaan mesin.
Keempat, manufaktur disarankan berkolaborasi dengan lebih banyak penjual secara daring untuk memenuhi online demand. Kelima, beberapa perusahaan yang memproduksi barang seperti personal care, kertas, dan obat-obatan harus berjuang untuk memenuhi permintaan akibat panic buying. “Sedangkan yang lain mengalami penurunan permintaan sehingga terjadi tekanan ekstrem untuk memangkas biaya operasional,” imbuhnya.
Dewan Pakar Asosiasi Logistik Indonesia (ALI) itu menjelaskan, medium dan long-term strategies sendiri mengarah pada dukungan dan kolaborasi dari pemerintah. Di sini pemerintah harus segera menyiapkan rencana insentif untuk memulihkan sektor manufaktur yang dianggap penting untuk ketahanan dan keberlanjutan nasional.
Menurut Joni, pemerintah di berbagai negara hampir pasti menggunakan manufaktur dalam negeri untuk membangun ketahanan krisis setelah situasi krisis ini. Hal itu secara otomatis akan menjadi kunci sebagai upaya menghidupkan kembali manufaktur dalam negeri, terutama di negara maju. (ayu/c9/dio)
Sumber: JawaPos, 27 Juni 2020
Source : http://www.ubaya.ac.id/2018/content/news_detail/2970/Transformasi-Digital-Sektor-Manufaktur-Lambat-dan-Tidak-Merata.html